Kamis, 01 Juni 2017

SUKU DAYAK MALI

Suku Dayak Mali adalah suku Dayak yang termasuk rumpun Klemantan Dayak Darat terdapat di Kabupaten Sanggau terutama mendiami seluruh Kecamatan Balai, Sanggau (Kota Kecamatan Batang Tarang), Kalimantan Barat.
Suku Dayak Mali terbagi dalam beberapa sub-suku sebagai berikut:

Dayak Mali (bahasa utama/Induk)
Meliputi Kecamatan Balai, Sanggau sampai perbatasan Kecamatan Tayan Hilir, Sanggau. 
Sebagian daerah Simpang Hulu, Ketapang 
Dialeknya: Bahasa Mali, Beruak, Keneles, Tae


Dayak Mali Peruan
Meliputi daerah Sosok, Kecamatan Tayan Hulu, Sanggau
Sebagian ada di Kabupaten Landak
Dialeknya: Bahasa Peruan



Dayak Mali Taba
Sebagian/sepanjang daerah di Kecamatan Balai, Sanggau sampai ke Tayan Hulu. 
Dialeknya: Bahasa Taba/Keneles

Dayak Mali Keneles
Sebagian kecamatan Balai, Sanggau
Sebagian Kecamatan Tayan Hilir, Sanggau
Sebagian Kecamatan Meliau, Sanggau
Sebagian Kecamatan Toba, Sanggau, Teraju
Dialeknya: Bahasa Keneles

Ciri-ciri Dayak Mali :
Suku dayak yang menetap.
Mempunyai adat-istiadat yang kuat.
Kebudayaan yang khas.
Rumah panjang.
Menggunakan alat seperti mandau, beliong, sampit.dll
Seni tari.


Suku dayak mali ini termasuk dayak modern, karena sebagian dari masyarakatnya sudah mengenal tulisan, dan alat-alat yang modern lainnya. Seperti handpone, dll.

Asal-usul dayak mali
Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan. Pulau kalimantan terbagi berdasarkan wilayah Administratif yang mengatur wilayahnya masing-masing terdiri dari: Kalimantan Timur ibu kotanya Samarinda, Kalimantan Selatan dengan ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan Tengah ibu kotanya Palangka Raya, dan Kalimantan Barat ibu kotanya Pontianak. Kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka. Etnis Dayak Kalimantan menurut J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan. Kuatnya arus urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar,seperti melayu menyebabkan mereka menyingkir semakin jauh ke pedalaman dan perbukitan di seluruh daerah Kalimantan.

Mereka menyebut dirinya dengan kelompok yang berasal dari suatu daerah berdasarkan nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa kayan, ivan = pengembara) demikian juga menurut sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Batang Lupar, karena berasal dari sungai Batang Lupar, daerah perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia. Suku Mualang, diambil dari nama seorang tokoh yang disegani (Manok Sabung/algojo) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang (karena suatu peristiwa) dan kemudian dijadikan nama suku Dayak Mualang. Dayak Bukit (Kanayatn/Ahe) berasal dari Bukit/gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak Kayan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju dan lain-lain, yang mempunyai latar belakang sejarah sendiri-sendiri.
Masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya, mereka percaya setiap tempat-tempat tertentu ada penguasanya, yang mereka sebut:Jubata,Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain, untuk sebutan Tuhan yang tertinggi, kemudian mereka masih mempunyai penguasa lain dibawah kekuasaan Tuhan tertingginya: misalnya: Puyang Gana ( Dayak mualang) adalah penguasa tanah, Raja Juata (penguasa Air), Kama “Bapa (penguasa darat), Jobata, Apet Kuyan’gh (Dayak Mali) dan lain-lain. Bagi mereka yang masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya dan budaya aslinya, mereka memisahkan diri masuk semakin jauh kepedalaman.

Sistem Kepercayaan Dayak Mali
Pedagi(Tempat Penyembahan Apet Kuyan'ghJobata, Jubata) Pedagi merupakan tempat untuk menaruh persembahan dalam upacara adat dayak Mali. mereka yakin bahwa pedagi merupakan rumah sementara jubata di dalam dunia ini. di pedagi itu orang datang untuk membawa niat,syukur dan silih atas segala apa yang di rencanakan selama hidupnya didunia. pedagi adalah tempat kedua setelah puncak gunung yang juga ada pedaginya yang merupakan memiliki penunggu yang berbeda. biasanya pedagi selalu dekat dengan rumah penduduk. mereka percaya bahwa yang menunggu pedagi tersebut adalah Apet Kuyan'gh yang memiliki sifat baik dan menjaga kampung. Apet Kuyan'gh selalu di identikan dengan orang tua yang sudah ubanan, berjengot putih dan bersorban. Apet Kuyan'gh dianggap peduli dengan keamanan kampung dan selalu memberi rejeki pada kehidupan mereka. 
Sisil (Penunggu Tanah) Sisil adalah penunggu lembah atau tanah berawa. Setiap orang yang akan membuka ladang baru atau tanah baru diwajibkan untuk memberi persembahan dan memohon kepada Sisil untuk meninggalkan tempat tersebut. Masyarakat menyebutnya sebagai balas budi. 
Kamang (Pembawa Kejahatan dan Penyakit) Kamang adalah dewa pedagi yang ada di puncak gunung dianggap sebagai pusat segala-galanya. Pedagi tersebut hanya bila ada hajatan kampung secara besar-besaran misalnya pada saat syukuran setelah panen padi, ketika ada perang. Pedagi tersebut di jaga oleh Kamang yang merupakan sosok seorang manusia yang raksasa berlumuran darah dan sebagai dewa pencabut nyawa. Itu bila manusia melanggar aturan atau kaidah yang ada dalam kampung.Kamang merupakan dewa yang paling keramat.

Budaya Dayak Mali
Ngayau 
Ngayau (memotong kepala manusia) merupakan budaya kanibal nenek moyang yang pernah ada dalam suku Dayak. Sekalipun budaya itu telah punah dan seharusnya sudah tidak ada lagi pada masa sekarang namun hal itu masih dapat kita saksikan pada era Orde Baru misalnya peristiwa Sanggau ledo (Kalbar) tahun 1997 dan peristiwa Sampit (Kalteng) tahun 2001. Ngayau merupakan budaya untuk mencari kepala manusia. Ketika kepala itu didapati maka keberanian, keperkasaan, kekuatan dan kehormatan akan diperoleh dengan seketika itu juga. Setiap orang Dayak yang mampu memperoleh kepala panglima suku atau orang yang terkuat dalam suku maka kekuatannya akan dapat diperoleh. Orang Dayak tersebut akan dikagumi sebagai panglima. Kepala panglima suku yang dipotong tadi akan dimakan dan tengkoraknya akan diawetkan. Kapala tersebut sampai sekarang masih digunakan untuk tarian Noto'gh. Yaitu menghormati/menghadirkan kepala manusia itu di depan umum pada saat selesai panen. Masih ada daerah-daerah tertentu yang sampai sekarang masih melaksanakan budaya Noto'gh tersebut.


Ganjor'ro/Gawai 
Ganjor'ro adalah pesta adat selepas panen atau pesta bersyukur setelah panen padi. suku dayak mali dari kampung ke kampung akan menyelengarakan pesta ini untuk ucapan syukur pada apet kuya'ngh serta agar panenan pada tahun yang akan datang semakin berlimpah. upacara syukur ini dilaksanakan setahun sekali dan pesta syukurnya 3 atau 7 hari lamanya. ganjor'ro mengisyaratkan bahwa setiap orang harus berpesta sampai puas. suku dayak mali berpesta dengan makan-makan dan minum tuak ( sejenis minuman tradisional) sampai mabuk atau sering ada acara lomba besompok( bertanding minum minuman tuak) siapa yang tahan maka dialah pemenangnya.


Noton'gh 
Upacara notonkg atau Noton'gh adalah upacara untuk memberi makan kepada kepala nenek moyang. upacara ini masih terpelihara dengan baik dikampung-kampung tertentu yang memiliki/menyimpan kepala manusia zaman dulu. Upacara ini hanya berlangsung setahun sekali atau bila ada kejadian yang kurang baik dikampung.


Berancak 
Berancak adalah upacara untuk membersihkan kampung dari segala macam perbuatan jahat. berancak biasanya dilaksanakan selama 7 hari. adapun pantang yang harus dijalankan oleh orang dayak mali pada saat itu adalah: dilarang makan udang, terasi, ikan seluang (sejenis ikan air tawar dikalimantan), pakis dan rebung ( pucuk mambu), dilarang bernyanyi, bunyikan musik atau kendaraan, dilarang berpergian malam hari,dilarang menumbuk padi pada petang hari. setiap orang yang melangar peraturan tersebut harus membayar denda dan pantang saat itu dianggap batal dan harus diulangi lagi. semua biayanya dibayar oleh orang yang melangar pantang tersebut.

Sistem Pemerintahan Dayak Mali
Masyarakat Dayak mali masih mempercayai ketua adat sebagai orang yang ditokohkan dalam pemerintahannya. Kepala adat adalah orang yang menjadi puncuk pimpinan dalam adat atau pemeng adat dalam budaya dayak mali. mereka memegang struktur adat tertentu dan tidak boleh melangkahi pemegang adat yang lain. karena itu sebagai kekuasaan masing-masing kepala adat. kepala adat tidak ada urusan dengan perangkat yang lain. ini bukan berarti mereka seenaknya saja menjalankan adat yang ada. karena aturan adat istiadat sudah ditentukan oleh masyarakat. mereka hanya berfungsi sebagai pemimpin dalam sidang dan setelah keputusan yang sama dari masyarakat adat maka mereka menjelaskan sanksi sesuai dengan adat yang berlaku.
Struktural Pemegang Hukum Adat Dayak Mali :
1. Dua Real di pegang/ dipimpin oleh pak RT/ RW
2. Empat Real dipimpin oleh Domong (Kepala Adat Kampung)
3. Enam Real dipimpin kepala adat Dusun
4. Delapan [Mi'gh] Real dipimpin Kepala Adat Desa dengan kepala desa
5. Sepuluh Real Dipimpin kepala adat Desa
6. Dua Belas Real dipimpin kepala adat (pemangku adat) Kecamatan
7. Enam Belas Real dipimpin kepala adat (Pemangku adat) kecamatan

Mata Pencarian Dayak Mali yaitu Berladang
Kebanyakan mata pencaharian penduduk dayak mali adalah berladang berpindah, petani karet, buruh serabutan. Hanya sebagian kecil yang berprofesi sebagai pegawai pemerintah dan pedagang, apalagi pejabat pemerintah. Hanya pada dekade ini ada beberapa putra daerah yang menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan.
Alasan utama mata pencarian penduduk demikian adalah kurangnya akses ilmu pengetahuan dan teknologi serta minimnya sarana pendidikan disana. Bayangkan, anak-anak mesti berjalan sejauh puluhan kilometer dengan berjalan kaki untuk mencapai akses pendidikan. Tak mengherankan banyak orang tua yang lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan ekonomi daripada pendidikan.
Ada satu hal yang menarik dari kehidupan masyarakat dayak mali. Keadaan alam yang tidak mendukung usaha pertanian disikapi dengan membuka ladang pertanian, untuk kemudian dibakar. hal ini dilakukan untuk menggemburkan tanah. Keadaan alam yang demikian diimbangi dengan aneka tanaman hutan yang bisa dimanfaatkan sebagai makanan terutama buah-buahan. Masyarakat Mali sangat jarang mengonsumsi sayuran. Makanan sehari-hari adalah nasi dan lauk pauk yang diolah sendiri, dengan bumbu-bumbu khas dayak. Makanan mereka didominasi oleh rasa asin dan asam. Saat musim buah tiba, sebagian besar profesi berubah menjadi petani buah dadakan. Biasanya buah yang dipetik dari hutan dibawa kepasar untuk dijual. Mereka telah mengenal uang seperti halnya kita.
Berladang dalam suku Dayak Mali merupakan suatu tradisi yang sudah ada pada masa nenek moyang hidup. Ladang berpindah-pindah merupakan hal yang harus dilakukan, bagi suku Dayak sebab ladang berpindah-pindah selalu berkaitan dengan alam dan kesuburan tanah. Kalau tanah yang sama dibuka setiap tahun akan mengurangi kesuburan tanahnya. Maka membuka ladang yang sama bisa tiga sampai empat tahun lamanya. Waktu membuka ladang harus diadakan perjanjian dengan alam semesta terutama penunggu tanah (Sisil) ladang tersebut. Suku Dayak Mali percaya bawah manusia harus memberi makan dan membuat perjanjian agar penunggu tanah (Sisil) ladang tersebuat mau pindah ke tempat yang lain. Kalau tidak maka penunggu tanah tersebut bisa marah dan mengutuk manusia yang membuka ladang itu.

Para Burun'gh (Para buah dan Lepas Panen)
Tuak
Tuak merupakan minuman khas Dayak. Setiap ada acara adat pasti pula ada Arak atau tuak. Budaya membuat tuak merupakan budaya yang turun temurun. Orang Dayak sangat pandai membuat tuak dari Ketan. Hasil dari fermentasi tersebut akan berubah menjadi minuman yang berasal dari tetesan minuman yang cukup membuat mabuk tersebut. Dalam tradisi Dayak yang disebut besompok (bertarung untuk minum arak) merupakan tradisi yang masih terpelihara sampai saat ini. Bukan sebagai kebangaan tetapi untuk mempererat persaudaraan dan keakraban karena tradisi dari zaman nenek moyang. Rasa minuman ini agak terasa manis tapi bilater lalu banyak minum tuak ini maka sangat sulit untuk cepat pulih.

Interaksi Dengan Masyarakat  luar
Dayak mali termasuk dayak yang berpegang teguh kepada adat-istiadat, sehingga hubungan mereka sangat baik di mata masyarakat lain atau orang dayak yang lain. Orang-orang dayak mali ini berinteraksi dengan orang lain/ orang luar daerah mereka, dengan menggunakan bahasa indonesia. Jikalau mereka sesama orang dayak mali mereka menggunakan bahasa mereka sendiri.



Daftar Rujukan :
menurut J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat.



Tidak ada komentar: